Menurut Prof. Erman Rajagukguk, dapat disimpulkan dari Pasal 2 g UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, ialah kekayaan BUMN itu adalah keuangan Negara. Kekayaan BUMN adalah keuangan Negara yang dipisahkan, artinya kekayaan BUMN adalah keuangan Negara.
Pasal 2 huruf g tidak diartikan bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan itu adalah saham, karena saham sudah dimasukkan dalam surat berharga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 hurug g itu sendiri : “kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga…”
Unsur lainnya dapat dilihat dari Pasal 2 g kekayaan BUMN adalah keuangan Negara adalah :
- BPK mempunyai wewenang untuk memeriksa keuangan BUMN (Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 11 huruf a UU No. 15/2006 tentang BPK).
- Komisi di DPR meminta DPR harus memberikan persetujuan dalam pelepasan aktifa BUMN yang julahnya 100 Milyar atau lebih.
Saat ini semakin banyak Notaris dan PPAT yang dijerat UU Tipikor, padahal menurut pemahaman yang sempit “hanya menjalankan jabatan terkait dengan pengikatan di bank BUMN”. Oleh Karena itu maka harus dimulai untuk mengetahui dan memahami implikasi dari pertanggungjawaban jabatan yang berpotensi dijerat/terjerat UU Tipikor tujuannya semata-mata agar terhindar dari jerat UU Tipikor tersebut.
Secara konvensional kita mengenal pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam hukum pidana terdapat dua teori kesengajaan sebagai berikut:
- Teori kehendak (wilstheorie), Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang ;
- Teori pengetahuan (voorstelling), Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat.
Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).
1) Kesengajaan (opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia dari beberapa ahli hukum pidana, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
- Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. - Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. - Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
2) Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana.
Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, KUHPidana merupakan inti atau induk peraturan hukum pidana. Diluar KUHPidana terdapat aturan-aturan pidana tersendiri, akan tetapi antara KUHPidana dengan peraturan-peraturan diluarnya ada hubungan yang erat yaitu seperti induk dan anak-anaknya artinya sistem yang dipakai dalam KUHPidana berlaku pula bagi peraturan-peraturan diluarnya, kecuali nyata-nyata ditentukan sebaliknya demikian menurut Prof. Moelyatno.
Demikian halnya UU Tipikor merupakan UU Pidana Khusus. Dalam konteks tersebut berlaku asas lex specialis derogate legi generali, artinya jika ada suatu perbuatan termasuk dalam aturan pidana umum (KUHPerdata) diatur pula dalam aturan pidana yang khusus (UU Tipikor), maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan (Pasal 63 ayat (3) KUHPidana).
Dasar hukum pemberlakuan UU Pidana khusus dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah ketentuan Pasal 103 KUHPidana yang menyatakan “ Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.
Dalam pelaksanaan jabatan Notaris dan PPAT harus kita ketahui ketentuan-ketentuan yang dipandang strategis dalam UU Tipikor diantaranya :
- Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, dimana dalam ketentuannya disebutkan unsur kerugian keuangan Negara sebagai salah satu unsur konstitutif merupakan ciri khas UU Korupsi di Indonesia. Ketentuan Pasal 2 memiliki kekhususan dimana subjek hukum yang menjadi sasaran UU Tipikor adalah setiap orang diluar penyelenggaran Negara berarti bisa menjerat Notaris atau PPAT. Sementara Pasal 3 sasarannya adalah penyelenggara Negara sendiri.
- Pasal 12 B, dimana dalam Pasal ini diperkenankannya pembuktian terbalik dan terbatas yaitu kepada, baik terdakwa maupun penuntut diwajibkan melakukan pembuktian.
- Pasal 37 UU Tipikor terkait pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Namun pembuktian terbalik tersebut hanya untuk memperkuat alat-alat bukti yang lain.
- Pasal 5 dan 11 UU Tipikor adalah ketentuan tindak pidana suap baik bersifat aktif maupun bersifat pasif.
Semoga bermanfaat bagi pengunjung website dunianotaris.com. Salam sukses